BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan ini, tanah mempunyai hubungan yang erat
sekali dengan manusia. “Setiap orang tentu memerlukan tanah bukan hanay dalam
kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerlukan tanah. Jumlah luas tanah
yang dapat dikuasai manusia sangat terbatas sekali sedangkan jumlah manusia
yang berhajat dengan tanah semakin lama semakin bertambah”. Kondisi yang tidak
seimbang antara persediaan tanah dengan kebutuhanakan tanah itu telah
menimbulkan berbagai persoalan dan kasus-kasus persengketaan tanah yang
memerkukan penyelesaian yang baik, benar dan memberikan perlindungan serta
kepastian hukum juga keadilan.
Untuk memberikan perlindungan terhadap warga negara yang
benar-benar mempunyai hak atas tanah tersebut, maka Negara mengaturnya di dalam
UUPA dimana dalam Pasal 26 ayat (1) UUPA mengatakan bahwa “Jual beli,
penukaran, penghibahan, pemberian wasiat, pemberian menurut adat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Namun kenyataan yang
terjadi, banyak tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat (hak ulayat) diambil
oleh pemerintah dengan cara-cara kekerasan.
B.
Rumusan Masalah.
Dari latar belakang yang ditentukan maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Apakah pengertian hak ulayat ?
2. Apakah yang menjadi dasar hukum hak
ulayat?
3. Apakah yang dimaksud dengan
kedudukan hak ulayat?
4. Bagaimana perlindungan hukum
terhadap masyarakat hukum adat yang tanah hak ulayatnya diambil untuk
kepentingan pembangunan ?
6. Apa saja
Pengaturan Hak Penguasaan Atas Tanah?
7. Bagaimana
Hak Penguasaan Atas Tanah Sebagai Lembaga Hukum Dan Hubungan Hukum Konkret?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hak Ulayat
Pengertian hak ulayat dapat kita lihat pada Pasal 3
Undang-Undang Pokok Agraria yang menetapkan bahwa “hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu dari masyarakat hukum adat” masih tetap dapat dilaksanakan oleh
masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang jak ulayat itu “menurut
kenyataan masih ada”.
Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum
adat, didefinisikan sebagai “kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh
masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk
tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang
timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak
terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang
bersangkutan”.
Hak Ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan Hukum
Adat dan dikalangan masyarakat hukum adat di berbagai daerah dikenal dengan
nama yang berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah
dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan
wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan
bersama para warganya. Hak ulayat mengandung dua unsur. Unsur pertama adalah
unsur hukum perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat
hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal
mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu
kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta
lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah
unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan,
penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern
dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau
“orang luar”.
Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, yang
perupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal
(teritorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genecalogis), yang dikenal
dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku,
marga, dati, dusun, nagari dan sebagainya. Apabila ada orang yang seakan-akan
merupakan subyek hak ulayat maka orang tersebut adalah ketua atau tetua adat
yang memperoleh pelimpahan wewenang dari masyarakat hukum adat yang
bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak ualayat,
melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang
bersangkutan dengan hak ulayat.
Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat
tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat
meliputi 3 unsur, yaitu:
a.
Unsur
masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat
dengan tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut
dalam kehidupan sehari-hari.
b.
Unsur
wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang manjadi lingkungan hidup
para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan
hidupnya sehari-hari, dan.
c.
Unsur
hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya
tatanan hukum adat menganai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah
ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum
tersebut.
B.
Dasar Hukum Hak Ulayat
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945)
bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
UUD 1945 tidak menyebut tanah melainkan bumi. Mengenai arti bumi ini tidak
terdapat penjelasan lebih lanjut. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUPA, bahwa
“Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah
hubungan yang bersifat abadi”.
Mengenai bumi diatur dalam UUPA, sebagaimana Pasal 1 ayat
(1) dan ayat (2), bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air
dari seluruh rakyat Indoneisa, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh
bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alan yang terkandung di dalamnya
dalam wilayah Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah
bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
Hal ini berarti bahwa di Indonesia, pengertian tanah diapakai dalam arti
yuridis sebagai suatu pengertian yang telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1)
UUPA, dasar hak menguasai dari negara hanya permukaan bumi, yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Setelah Indonesia merdeka dan berlangsung hingga
diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, dengan mengingat pentingnya tanah dalam kahidupan, jauh
sebelum diundangkan UUPA telah dikenal sistem penguasaan suber daya alam di
berbagai daerah di Indonesia yang dikenal sebagai hal ulayat. Walaupun tidak
dijelaskan secara jelas mengenai pengertian hak ulayat tetapi dari berbagai
pendapat para ahli, hak ulayat adalah merupakan pengakuan/kepunyaan bersama
seluruh anggota masyarakat dan di dalamnya juga terkandung adanya hak kepunyaan
perorangan yang berarti orang perorangan boleh mempunyai (memiliki) tanah dalam
lingkungan hak ulayat tersebut.
Apabila ditelaah pendapat-pendapat yang diberikan para ahli
di atas, terdapat kesamaan pendapat mengenai hukum adat, yaitu di dalam hukum
adat termuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang
Indonesia dalam bentuk tak tertulis dan mempunyai akibat hukum.
Di dalam masyarakat hukum adat, tanah mempunyai arti
penting, karena menurut sifatnya tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan
yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap
dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan. Karena
faktanya, tenah merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan kehidupan
kepada persekutuan, merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang
meninggal dunia dikebumikan dan merupakan pula temapat tinggal kepada
dayang-dayang perlindungan persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.
Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa hak ulayat tidak
secara gamblang dijelaskan tentang adanya dasar hukum atau aturan-aturan yang
mengatur, melainkan hak ulayat diakui oleh Undang-Undang dan penerapannya
mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria serta hukum adat yang berlaku.
C.
Kedudukan Hak Ulayat
Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah
sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat
tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak
ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah
apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan
dihidupkan kembali.
Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam
pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus
sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang
dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang
diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan pula bahwa
kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan
negara yang lebih tinggi dan lebih luas".
Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu
seakan-akan anggota-anggota masyarakat iu sendirilah yang berhak atas tanah
wilayahnya itu, dan seakan hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu
sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang oleh UUPA dianggap bertentangan, hal
ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2.
Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat
tidak di hapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah
mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan
eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui
proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam
masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E).
Terjadinya hak milik
dapat melalui 3 cara, antara lain:
a. Menurut
hukum adat
Hak milik atas tanah
terjadi dengan jalan pembukaan tanah (pembukaan hutan). Artinya, pembukaan
tanah (hutan) tersebut dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat hukum
adat yang dipimpin oleh ketua adat melalui sistem penggarapan, yaitu matok
sirah, matok sirah gilir galeng, dan sistem bluburan atau terjadi karena
timbulnya “lidah tanah” (aanslibbing). Lidah tanah adalah tanah yang
timbul/muncul karena terbloknya arus sungai atau tanah di pinggir pantai,
biasanya terjadi dari lumpur yang makin lama makin tinggi dan mengeras. Dalam
hukum adat, lidah tanah yang tidak begitu luas menjadi hak bagi pemilik tanah
yang berbatas. Hak milik tersebut dapat didaftarkan pada kantor pertanahan
kabupaten/kota setempat untuk mendapatkan sertifikat hak miliknya.
b. Penetapan
pemerintah
Hak milik atas tanah
ini terjadi karena permohonan pemberian hak milik atas tanah (semula berasal
dari tanah negara) oleh pemohon dengan memenuhi prosedur dan persyaratan yang
ditentukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Setelah semua terpenuhi, BPN
menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPII). SKPH tersebut wajib
didaftarkan oleh pemohon kepada kepala kantor pertanahan kabupaten/kota
setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan diterbitkan sebagai sertifikat hak
milik atas tanah.
c. Ketentuan
Undang-Undang
Terjadinya hak milik
atas tanah ini didasarkan karena konversi (perubahan) menurut UUPA. Sejak
berlakunya UUPA, semua hak atas tanah yang ada harus diubah menjadi salah satu
hak atas tanah yang diatur dalam UUPA.
E.
Pengaturan
Hak Penguasaan Atas Tanah
Dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai
berbagai hak penguasaan atas tanah. Dalam UUPA misalnya diatur dan
sekaligus ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah
dalam Hukum Tanah Nasional kita, Yaitu:
1. Hak Bangsa Indonesia atas tanah
Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi
dan meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah Negara, yang merupakan tanah
bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain
atas tanah. pengaturan ini termuat dalam Pasal 1 ayat (1)-(3) UUPA.
Hak Bangsa Indonesia atas tanah mempunyai sifat
komunalistik, artinya semua tanah yang ada dalam wilayah NKRI merupakan tanah
bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai Bangsa Indonesia (Pasal 1
ayat (1) UUPA). selain itu juga mempunyai sifat religius, artinya seluruh tanah
yang ada dalam wilayah NKRI merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 ayat
(2) UUPA). Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi, atinya
selama rakyat Indonesia masih bersatu sebagai Bangsa Indonesia dan selama tanah
tersebut masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu
kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut (Pasal 1
ayat (3).
2. Hak menguasai dari Negara atas Tanah
Hak ini bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang
hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang
mengandung hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama ini dikuasakan
sepenuhnya kepada NKRI sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2
ayat (1) UUPA).
Isi wewenang hak menguasai dari Negara Atas Tanah sebagai
mana dimuat di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA adalah:
a. Mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah.
b. Menetukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah.
c. Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai tanah.
3. Hak Ulayat msayarakat Hukum Adat
Hak ini diatur dalam Pasal 3 UUPA. Yang dimaksud hak ulayat
masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adapt, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dala
lingkungan wilayahnya.
Menurut Boedi Harsono, Hak ulayat masyarakat hukum adat
dinyatakan masih apabila memenuhi 3 unsur, yaitu:
a. Masih adanya suatu kelompok orang
sebagai warga suatu persekutuan hukum adapt tertentu, yang merupakan suatu
masyarakat hukum adat.
b. Masih adanya wilayah yang merupakan
ulayat masyarakat hukum adat tersebut, yang disadari sebagai kepunyaan bersama
para warganya.
c. Masih ada penguasa adat yang pada
kenyataannya dandiakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan,
melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pelaksana hak ulayat.
d. Hak-hak atas tanah
Hak ini termasuk salah satu hak-hak perseorang atas tanah.
Hak-hak perseorang atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang
haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama, badan hukum) untuk
memakai, dala arti menguasai, menggunakan dan atau mengambil manfaat dari
bidang tanah tertentu. Dasar hukumnya adalah Pasal 4 ayat (1) UUPA.
Hak perseorangan atas tanah berupa hak atas tanah ( Pasal 16
dan 53 UUPA), wakaf tanah hak milik (Pasal 49 ayat (3) UUPA), hak tanggungan
atau hak jaminan atas tanah (Pasal 25, 33, 39 dan 51 UUPA) dan hak milik atas
satuan rumah susun (Pasal 4 ayat (1) UUPA).
Meskipun bermacam-macam, tetapi hak penguasaan atas tanah
berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang
haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. sesuatu yang boleh,
wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah
yang menjadi kriterium atau tolak ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas
tanah yang diatur dalam hukum tanah.
F.
Hak
Penguasaan Atas Tanah Sebagai Lembaga Hukum Dan Hubungan Hukum Konkret
Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah
ada yang sebagai lembaga hukum, dan ada pula yang sebagai hubungan-hubungan
hukum konkret.
Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum adalah hak
penguasaan atas tanah yang belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan
hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Sebagai contoh dapat disebut Hak Milik,
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa untuk bangunan yang
disebut dalam Pasal 20 sampai 45 UUPA.
Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum yaitu:
1. Memberi nama pada penguasaan hak
yang bersangkutan
2. Menetapkan isinya, yaitu mengtur apa
saja yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta
jangka waktu penguasaannya
3. Mengatur hal-hal mengenai subyeknya,
siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya
4. Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang
konkret yaitu hak penguasaan atas tanah yang sudah dihubungkan dengan tanah
tertentu sebagai objeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek
atau pemegang haknya. Sebagi contoh dapat dikemukakan hak-hak atas tanah
yang disebut dalam ketentuan konversi UUPA.
Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret yaitu:
1. Mengatur hal-hal mengenai
penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkret, dengan nama atau
sebutan hak penguasaan atas tanah tertentu
2. Mengatur hal-hal mengenai
pembebanannya dengan hak-hak lain
3. Mengatur hal-hal mengenai
pemidahannya kepada pihak lain
4. Mengatur hal-hal mengenai hapusnya
5. Mengatur hal-hal mengenai
pembuktiannya
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Menurut UUPA mengakui adanya hak ulayat sebagaimana Pasal 3
UUPA. Pengakuan terhadap tanah merupakan suatu hal yang memang dilindungi
sesuai dengan yang dimaksud oleh Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, bahwa Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun pengakuan hak ulayat
tersebut dibatasi yaitu hak ulayat yang masih selaras dengan perkembangan zaman
dan peradaban sebagaimana Pasal 28 I UUD 1945 dan tidak didaftar.
Bentuk perlindungan hukumnya bila diperlukan untuk
kepentingan umum sebagaimana Padal 18 UUPA, maka masyarakat pemegang hak ulayat
diberi penggantian berupa pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang
bermanfaat bagi rakyat setempat sesuai dengan Pasal 14 Perpres No. 36 Tahun
2005 yang telah dirubah oleh Perpres No. 65 Tahun 2006, yang penggunaannya
untuk kepentingan seluruh pemegang hak ulayat atas tanah tersebut.
B.
Saran
Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan
penulis khususnya dan pembaca pada umumnya, saran dan kritikan yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan makalah ini kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan
Pertanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar Langkah-Langkah
Adminstrasi Perlindungan Tanah Adat, Palangkaraya, 2007.
Peraturan
Menteri Negara /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999.
Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
Soerjono
Wingjodipuro, Asas-Asas Hukum Adat, Sumur Bandung, Jakarta, 1983.
Surat
Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang Ditujukan kepada
Bupati/Walikotamdya Kepala Daerah Tk. II, Jakarta, 24 Juni 1999.
Undang-undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Harsono,
Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Santoso,
Urip. Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media
Group.
Muchsin
dkk. 2007. Hukum Agraria Indonesia. Bandung: Refika Aditama
izin copas min..
ReplyDeletebuat tugas
Mkasih infonya...
ReplyDeleteSangat membantu dalam penyusunan tugas akhir saya dgn judul tanah adat dan hak hulayat masyarakat suku lanny Kabupaten Lanny Jaya Provinsi Papua..
Salam.
PIKO
tambahin foot note min
ReplyDelete