Tuesday, 5 January 2016

dasar hukum hak ulayat

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Dalam kehidupan ini, tanah mempunyai hubungan yang erat sekali dengan manusia. “Setiap orang tentu memerlukan tanah bukan hanay dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerlukan tanah. Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai manusia sangat terbatas sekali sedangkan jumlah manusia yang berhajat dengan tanah semakin lama semakin bertambah”. Kondisi yang tidak seimbang antara persediaan tanah dengan kebutuhanakan tanah itu telah menimbulkan berbagai persoalan dan kasus-kasus persengketaan tanah yang memerkukan penyelesaian yang baik, benar dan memberikan perlindungan serta kepastian hukum juga keadilan.
Untuk memberikan perlindungan terhadap warga negara yang benar-benar mempunyai hak atas tanah tersebut, maka Negara mengaturnya di dalam UUPA dimana dalam Pasal 26 ayat (1) UUPA mengatakan bahwa “Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Namun kenyataan yang terjadi, banyak tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat (hak ulayat) diambil oleh pemerintah dengan cara-cara kekerasan.

B.     Rumusan Masalah.
Dari latar belakang yang ditentukan maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Apakah pengertian hak ulayat ?
2.      Apakah yang menjadi dasar hukum hak ulayat?
3.      Apakah yang dimaksud dengan kedudukan hak ulayat?
4.      Bagaimana perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat yang tanah hak ulayatnya diambil untuk kepentingan pembangunan ?
5.      Bagaiamana Proses Terjadinya Hak Milik?
6.      Apa saja Pengaturan Hak Penguasaan Atas Tanah?
7.      Bagaimana Hak Penguasaan Atas Tanah Sebagai Lembaga Hukum Dan Hubungan Hukum Konkret?




BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Hak Ulayat
Pengertian hak ulayat dapat kita lihat pada Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria yang menetapkan bahwa “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” masih tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang jak ulayat itu “menurut kenyataan masih ada”.
Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai “kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.
Hak Ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan Hukum Adat dan dikalangan masyarakat hukum adat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak ulayat mengandung dua unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “orang luar”.
Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, yang perupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genecalogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun, nagari dan sebagainya. Apabila ada orang yang seakan-akan merupakan subyek hak ulayat maka orang tersebut adalah ketua atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan wewenang dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak ualayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat.
Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur, yaitu:
a.        Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat dengan tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
b.        Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang manjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan.
c.        Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat menganai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

B.     Dasar Hukum Hak Ulayat
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung  di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. UUD 1945 tidak menyebut tanah melainkan bumi. Mengenai arti bumi ini tidak terdapat penjelasan lebih lanjut. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUPA, bahwa “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi”.
Mengenai bumi diatur dalam UUPA, sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indoneisa, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alan yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Hal ini berarti bahwa di Indonesia, pengertian tanah diapakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, dasar hak menguasai dari negara hanya permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Setelah Indonesia merdeka dan berlangsung hingga diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dengan mengingat pentingnya tanah dalam kahidupan, jauh sebelum diundangkan UUPA telah dikenal sistem penguasaan suber daya alam di berbagai daerah di Indonesia yang dikenal sebagai hal ulayat. Walaupun tidak dijelaskan secara jelas mengenai pengertian hak ulayat tetapi dari berbagai pendapat para ahli, hak ulayat adalah merupakan pengakuan/kepunyaan bersama seluruh anggota masyarakat dan di dalamnya juga terkandung adanya hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh mempunyai (memiliki) tanah dalam lingkungan hak ulayat tersebut.
Apabila ditelaah pendapat-pendapat yang diberikan para ahli di atas, terdapat kesamaan pendapat mengenai hukum adat, yaitu di dalam hukum adat termuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam bentuk tak tertulis dan mempunyai akibat hukum.
Di dalam masyarakat hukum adat, tanah mempunyai arti penting, karena menurut sifatnya tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan. Karena faktanya, tenah merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan kehidupan kepada persekutuan, merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan merupakan pula temapat tinggal kepada dayang-dayang perlindungan persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.
Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa hak ulayat tidak secara gamblang dijelaskan tentang adanya dasar hukum atau aturan-aturan yang mengatur, melainkan hak ulayat diakui oleh Undang-Undang dan penerapannya mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria serta hukum adat yang berlaku.

C.     Kedudukan Hak Ulayat
Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.
Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas".
Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggota-anggota masyarakat iu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2.
Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak di hapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E).

Terjadinya hak milik dapat melalui 3 cara, antara lain:
a.       Menurut hukum adat
Hak milik atas tanah terjadi dengan jalan pembukaan tanah (pembukaan hutan). Artinya, pembukaan tanah (hutan) tersebut dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat hukum adat yang dipimpin oleh ketua adat melalui sistem penggarapan, yaitu matok sirah, matok sirah gilir galeng, dan sistem bluburan atau terjadi karena timbulnya “lidah tanah” (aanslibbing). Lidah tanah adalah tanah yang timbul/muncul karena terbloknya arus sungai atau tanah di pinggir pantai, biasanya terjadi dari lumpur yang makin lama makin tinggi dan mengeras. Dalam hukum adat, lidah tanah yang tidak begitu luas menjadi hak bagi pemilik tanah yang berbatas. Hak milik tersebut dapat didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten/kota setempat untuk mendapatkan sertifikat hak miliknya.
b.      Penetapan pemerintah
Hak milik atas tanah ini terjadi karena permohonan pemberian hak milik atas tanah (semula berasal dari tanah negara) oleh pemohon dengan memenuhi prosedur dan persyaratan yang ditentukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Setelah semua terpenuhi, BPN menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPII). SKPH tersebut wajib didaftarkan oleh pemohon kepada kepala kantor pertanahan kabupaten/kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan diterbitkan sebagai sertifikat hak milik atas tanah.
c.       Ketentuan Undang-Undang
Terjadinya hak milik atas tanah ini didasarkan karena konversi (perubahan) menurut UUPA. Sejak berlakunya UUPA, semua hak atas tanah yang ada harus diubah menjadi salah satu hak atas tanah yang diatur dalam UUPA.

E.     Pengaturan Hak Penguasaan Atas Tanah
Dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai  hak penguasaan atas tanah. Dalam UUPA misalnya diatur dan sekaligus ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita, Yaitu:
1.      Hak Bangsa Indonesia atas tanah
Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah Negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah. pengaturan ini termuat dalam Pasal 1 ayat (1)-(3) UUPA.
Hak Bangsa Indonesia atas tanah mempunyai sifat komunalistik, artinya semua tanah yang ada dalam wilayah NKRI merupakan tanah bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). selain itu juga mempunyai sifat religius, artinya seluruh tanah yang ada dalam wilayah NKRI merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 ayat (2) UUPA). Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi, atinya selama rakyat Indonesia masih bersatu sebagai Bangsa Indonesia dan selama tanah tersebut masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut (Pasal 1 ayat (3).
2.      Hak menguasai dari Negara atas Tanah
Hak ini bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama ini dikuasakan sepenuhnya kepada NKRI sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).
Isi wewenang hak menguasai dari Negara Atas Tanah sebagai mana dimuat di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA adalah:
a.       Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah.
b.      Menetukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah.
c.       Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.

3.      Hak Ulayat msayarakat Hukum Adat
Hak ini diatur dalam Pasal 3 UUPA. Yang dimaksud hak ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adapt, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dala lingkungan wilayahnya.
Menurut Boedi Harsono, Hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih apabila memenuhi 3 unsur, yaitu:
a.       Masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu persekutuan hukum adapt tertentu, yang merupakan suatu masyarakat hukum adat.
b.      Masih adanya wilayah yang merupakan ulayat masyarakat hukum adat tersebut, yang disadari sebagai kepunyaan bersama para warganya.
c.       Masih ada penguasa adat yang pada kenyataannya dandiakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pelaksana hak ulayat.
d.      Hak-hak atas tanah
Hak ini termasuk salah satu hak-hak perseorang atas tanah. Hak-hak perseorang atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama, badan hukum) untuk memakai, dala arti menguasai, menggunakan dan atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu. Dasar hukumnya adalah Pasal 4 ayat (1) UUPA.
Hak perseorangan atas tanah berupa hak atas tanah ( Pasal 16 dan 53 UUPA), wakaf tanah hak milik (Pasal 49 ayat (3) UUPA), hak tanggungan atau hak jaminan atas tanah (Pasal 25, 33, 39 dan 51 UUPA) dan hak milik atas satuan rumah susun (Pasal 4 ayat (1) UUPA).
Meskipun bermacam-macam, tetapi hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolak ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah.

F.      Hak Penguasaan Atas Tanah Sebagai Lembaga Hukum Dan Hubungan Hukum Konkret
Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah ada yang sebagai lembaga hukum, dan ada pula yang sebagai hubungan-hubungan hukum konkret.
Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum adalah hak penguasaan atas tanah yang belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Sebagai contoh dapat disebut Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa untuk bangunan yang disebut dalam Pasal 20 sampai 45 UUPA.
 Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum yaitu:
1.       Memberi nama pada penguasaan hak yang bersangkutan
2.       Menetapkan isinya, yaitu mengtur apa saja yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya
3.       Mengatur hal-hal mengenai subyeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya
4.       Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret yaitu hak penguasaan atas tanah yang sudah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai objeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya. Sebagi contoh dapat dikemukakan hak-hak atas tanah  yang disebut dalam ketentuan konversi UUPA.
Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret yaitu:
1.      Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkret, dengan nama atau sebutan hak penguasaan atas tanah tertentu
2.      Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain
3.      Mengatur hal-hal mengenai pemidahannya kepada pihak lain
4.      Mengatur hal-hal mengenai hapusnya
5.      Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya






BAB III
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
Menurut UUPA mengakui adanya hak ulayat sebagaimana Pasal 3 UUPA. Pengakuan terhadap tanah merupakan suatu hal yang memang dilindungi sesuai dengan yang dimaksud oleh Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun pengakuan hak ulayat tersebut dibatasi yaitu hak ulayat yang masih selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban sebagaimana Pasal 28 I UUD 1945 dan tidak didaftar.
Bentuk perlindungan hukumnya bila diperlukan untuk kepentingan umum sebagaimana Padal 18 UUPA, maka masyarakat pemegang hak ulayat diberi penggantian berupa pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi rakyat setempat sesuai dengan Pasal 14 Perpres No. 36 Tahun 2005 yang telah dirubah oleh Perpres No. 65 Tahun 2006, yang penggunaannya untuk kepentingan seluruh pemegang hak ulayat atas tanah tersebut.

B.     Saran
Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan penulis khususnya dan pembaca pada umumnya, saran dan kritikan yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan makalah ini kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pertanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar Langkah-Langkah Adminstrasi Perlindungan Tanah Adat,  Palangkaraya, 2007.
Peraturan Menteri Negara /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
Soerjono Wingjodipuro, Asas-Asas Hukum Adat, Sumur Bandung, Jakarta, 1983.
Surat Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang Ditujukan kepada Bupati/Walikotamdya Kepala Daerah Tk. II, Jakarta, 24 Juni 1999.
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Santoso, Urip. Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media Group.
Muchsin dkk. 2007. Hukum Agraria Indonesia. Bandung: Refika Aditama


3 comments:

  1. izin copas min..
    buat tugas

    ReplyDelete
  2. Mkasih infonya...
    Sangat membantu dalam penyusunan tugas akhir saya dgn judul tanah adat dan hak hulayat masyarakat suku lanny Kabupaten Lanny Jaya Provinsi Papua..

    Salam.
    PIKO

    ReplyDelete