BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Manajemen keuangan adalah untuk memahami tentang apa yang
terjadi disekeliling kita untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis dan juga menjelaskan berbagai fakta dan
informasi. Untuk lebih jelas mengenai manajemen keuangan silakan anda simak makalah di bawah Pelaksanaan pengelolaan keuangan negara pasca Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah yang diikuti lahirnya UU
No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara telah berjalan hampir satu setengah tahun. Sebagaimana
dipahami UU Keuangan Negara No.17 tahun 2003 dan UU Perbendaharaan Negara nomor
1 tahun 2004 adalah untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan keuangan negara
yang sesuai dengan tuntutan perkembangan demokrasi, ekonomi dan teknologi
moderen.
UU No.17/2003 tentang
Keuangan Negara telah merubah sistem dan pola pengelolaan keuangan
negara. Sistem yang diusung dalam UU tersebut adalah sistem penganggaran
berbasis kinerja (performance budgeting system) yang menjadikan kinerja sebagai
fokus sehingga seluruh potensi harus diarahkan untuk mendukung agar kinerja
yang diinginkan dapat tercapai. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa kinerja
yang dicanangkan tercapai dengan pendanaan yang dialokasikan secara efisien dan
efektif. Sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam UU No.17 tahun 2003, Menteri Keuangan sebagai pembantu
Presiden dalam bidang keuangan pada hakikatnya adalah Chief Financial Officer
(CFO) Pemerintah RI sedangkan setiap Menteri/Pimpinan Lembaga adalah Chief
Operacional Officer (COO) untuk statu bidang tugas pemerintahan.
Untuk meningkatkan akuntabilitas dan menjamin
terselenggaranya saling uji (check and balance) dalam proses pelaksanaan
anggaran, perlu dilakukan pemisahan secara tegas antara pemegang kewenangan
administratif yang diserahkan kepada kementrian/lembaga dan pemegang kewenangan
kebendaharaan yang diserahkan kepada kementrian keuangan.
Dari pengamatan APBN tahun 2005 sampai dengan triwulan I
tahun 2006 menunjukkan pengalihan kewenangan administratif yang dulunya
dilaksanakan oleh kementrian keuangan kepada kementrian/lembaga menunjukkan
sebagian besar mind set KPA masih berprinsip tolok ukur keberhasilan diukur
dari tingkat capaian disbursement (penyerapan) tanpa terlalu jauh memperhatikan
kualitas kinerjanya. Berdasarkan permasalahan di atas maka pada RADIN tingkat
regional Kanwil DJPBN wilayah Sumatera di Medan, Kanwil III DJPBN Padang merasa
perlu mengangkat permasalahan pengalihan kewenangan administratif pada
Kementrian/Lembaga khususnya dalam hal pelaksanaan pembayaran yang efisien dan
efektif
1.2 Tujuan
Dalam rangka mengemban misi reformasi dalam bidang keuangan
negara yakni mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean governance) maka
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) dan pejabat lainnya yang
ditunjuk selaku Kuasa BUN bukanlah sekadar kasir yang hanya melaksanakan
penerimaan dan pengeluaran negara tanpa berhak menilai kebenaran penerimaan dan
pengeluaran negara tersebut, tetapi Menteri
Keuangan selaku pengelola keuangan dalam arti yang seutuhnya
yaitu berfungsi sekaligus kasir,pengawas keuangan dan manajer keuangan.
Dikarenakan pelaksanaan tahun 2005 sampai dengan triwulan I
tahun 2006 menunjukkan belum berubahnya mind set KPA dan KPPN dalam mekanisme
pelaksanaan pembayaran APBN perlu dilakukan langkah-langkah konkrit
mengendalikan pengelolaan keuangan negara sesuai fungsi kementrian keuangan
dalam arti seutuhnya : kasir, pengawas keuangan dan manajer keuangan agar
tercipta efisiensi biaya dan efektifitas dalam pelaksanaan anggaran (cost
effektiveness and operational efficiency) sehingga ada benang merah dalam siklus anggaran (budget cycle) antara input, output dan outcome.
1.3 Rumusan Masalah
Cakupan permasalahan dalam pelaksanaan pemisahan kewenangan
administrasi dan kewenangan kebendaharaan adalah :
- Menyoroti sampai dimana tingkat
kesiapan kementrian/lembaga dalam menjalankan fungsinya selaku pemegang
kewenangan administratif (what and how the manager manage);
- Pelaksanaan kewenangan
kebendaharaan (comptable) di kementrian keuangan (d.h.i KPPN);
- Faktor-faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan pemisahan kedua kewenangan pada KPA dan KPPN;
- Usul penyempurnaan aturan atau
prosedur kerja untuk menciptakan efisiensi biaya dan efektifitas kinerja
dalam mekanisme pelaksanaan pembayaran
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Manajemen
Keuangan
2.1.1.
Landasan
Teori
Sistem penganggaran moderen (Public Expenditure Management)
menekankan pentingnya tiga prinsip penting (best practice) dalam pengelolaan
keuangan negara yaitu :
- Aggegate Fiscal Dicipline,
- disiplin anggaran pada tingkat
nasional agar besarnya belanja negara disesuaikan dengan kemampuan
menghimpun pendapatan negara
- Allocative Efficiency,
efisiensi alokasi anggaran melalui distribusi yang tepat sumber-sumber
daya keuangan untuk berbagai fungsi pemerintahan sesuai dengan outcome
(manfaat atau hasil) yang diharapkan dari penyelenggaraan tugas
kementrian/lembaga
- Operational Efficiency,
efisiensi pelaksanaan kegiatan instansi pemerintahan untuk menghasilkan
output sesuai tugas dan fungsi instansi pemerintahan bersangkutan
2.1.2. Dasar Hukum Pembayaran
·
UU
No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
- UU No.1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara
- UU No.15 tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
- UU No.13 tahun 2005 tentang
APBN TA.2006
- PP No.21 tahun 2004 tentang
Penyusunan RKAKL
- Keppres No.42 tahun 2002
jtentang Pedoman Pelaksanaan APBN
- PMK No.134/PMK.06/2005 tentang
Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan Pembayaran APBN
- Peraturan Dirjen Perbendaharaan
No.PER-66/PB/2005 tanggal 28-12-2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan
Pembayaran atas beban APBN
2.1.3.
Pembagian
Kewenangan
Pasal 19 UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
ayat (1) menyebutkan bahwa Pembayaran atas tagihan yang menjadi beban APBN
dilakukan oleh Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara. Dalam
pelaksanaannya pembayaran APBN tersebut dilakukan oleh KPPN. Selanjutnya pada
ayat (2) bahwa dalam rangka pelaksanaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara berkewajiban untuk :
- Meneliti kelengkapan perintah
pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran;
- Menguji kebenaran perhitungan
tagihan atas beban APBN yang tercantum dalam perintah pembayaran;
- Menguji ketersediaan dana yang
bersangkutan;
- Memerintahkan pencairan dana
sebagai dasar pengeluaran negara;
- Menolak pencairan dana, apabila
perintah pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Kewajiban dalam rangka pelaksanaan pembayaran ini dijabarkan
lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Dirjen Perbendaharaan
No.PER-66/PB/2005 pada pasal 11 sebagai berikut :
- Pengujian SPM dilaksanakan oleh
KPPN mencakup pengujian yang bersifat substansif dan formal.
- Pengujian substantif dilakukan
untuk:
- Menguji kebenaran perhitungan
tagihan yang tercantum dalam SPM;
- Menguji ketersediaan dana pada
kegiatan/sub kegiatan/MAK dalam DIPA yang ditunjuk dalam SPM tersebut;
- Menguji dokumen sebagai dasar
penagihan (Ringkasan Kontrak/SPK, Surat Keputusan, Daftar Nominatif Perjalanan
Dinas);
- Menguji surat pernyataan
tanggung jawab (SPTB) dari kepala kantor/satker atau pejabat lain yang
ditunjuk mengenai tanggung jawab terhadap kebenaran pelaksanaan
pembayaran;
- Menguji faktur pajak beserta
SSP-nya;
Pengujian
formal dilakukan untuk:
- Mencocokkan tanda tangan
pejabat penandatangan SPM dengan spesimen tandatangan;
- Memeriksa cara
penulisan/pengisian jumlah uang dalam angka dan huruf; memeriksa kebenaran
dalam penulisan, termasuk tidak boleh terdapat cacat dalam penulisan.
Pada Pasal 7 ayat (2.c.) UU No.1/2004 bahwa Menteri Keuangan
selaku Bendahara Umum Negara berwenang melakukan pengendalian pelaksanaan
anggaran negara. Sedangkan pada penjelasan UU tersebut Menteri Keuangan selaku
Bendahara Umum Negara dan pejabat lainnya yang ditunjuk sebagai Kuasa Bendahara
Umum Negara (KPPN) bukanlah sekedar kasir yang hanya berwenang melaksanakan
penerimaan dan pengeluaran negara tanpa berhak menilai kebenaran penerimaan dan
pengeluaran tersebut. Menteri Keuangan
selaku Bendahara Umum Negara adalah pengelola keuangan dalam arti seutuhnya,
yaitu berfungsi sekaligus sebagai kasir, pengawas keuangan, dan manajer
keuangan.
Fungsi pengawasan keuangan di sini terbatas pada aspek
rechmatigheid dan wetmatigheid dan hanya dilakukan pada saat terjadinya penerimaan
atau pengeluaran, sehingga berbeda dengan fungsi pre-audit yang dilakukan oleh
kementerian teknis atau post-audit yang dilakukan oleh aparat pengawasan
fungsional. Dengan demikian, dapat dijalankan salah satu prinsip pengendalian
intern yang sangat penting dalam proses pelaksanaan anggaran, yaitu adanya
pemisahan yang tegas antara pemegang kewenangan administratif (ordonnateur) dan
pemegang kewenangan kebendaharaan (comptable).
2.1.4.
Kewenangan
Administratif (Ordonateur)
Penyelenggaraan kewenangan administratif diserahkan kepada
kementerian negara/lembaga. Kewenangan administratif tersebut meliputi
melakukan perikatan atau tindakan-tindakan lainnya yang mengakibatkan
terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara, melakukan pengujian dan
pembebanan tagihan yang diajukan kepada kementerian negara/lembaga sehubungan
dengan realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan pembayaran atau
menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran.
Satu hal penting yang mendasar dalam penyempurnaan manajemen keuangan
alah adanya kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar bagi kementerian
negara/lembaga dalam mengelola program dan kegiatan yang ada dalam lingkup
kerjanya dimana penganggaran berdasarkan kinerja akan sangat membantu dalam
penerapannya.
Penganggaran berdasarkan kinerja adalah penyusunan anggaran
yang dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan
keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil
dan keluaran tersebut. Indikator kinerja (performance indicators) dan sasaran
(targets) merupakan bagian dari pengembangan sistem penganggaran berdasarkan
kinerja dalam rangka mendukung perbaikan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan
sumberdaya.
Penganggaran berdasarkan kinerja pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan
Penganggaran berdasarkan kinerja pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi dalam pelaksanaan anggaran dengan menghubungkan
antara beban kerja dan kegiatan terhadap biaya. Secara lebih dalam, penerapan penganggaran
berdasarkan kinerja akan mendukung alokasi anggaran terhadap prioritas program
dan kegiatan. Sistem ini terutama berusaha untuk menghubungkan antara keluaran
(outputs) dengan hasil (outcomes) yang disertai dengan penekanan terhadap
efektifitas dan efisiensi terhadap anggaran yang dialokasikan.
- Ekonomis: sejauh mana
masukan/sumberdaya yang ada digunakan dengan sebaik-baiknya;
- Efisiensi: sejauh mana
perbandingan antara tingkat keluaran suatu kegiatan dengan sumberdaya/dana
yang digunakan;
- Efektivitas: sejauh mana
keluaran yang dihasilkan mendukung pencapaian
2.2 Faktor-faktor yang mempegaruhi
pelaksanaan tugas
a.
Faktor
yang mendukung pelaksanaan tugas
- Proses pengolahan data
pelaksanaan APBN dilakukan secara elektronik didukung dengan aplikasi program
secara integrasi;
- Adanya payung hukum yang
mandiri dan mempunyai legimitasi yakni UU No.17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dan UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta
peraturan lainnya.
b.
Faktor
yang menghambat pelaksanaan tugas
1) Kemampuan SDM menjadi faktor utama
terhambatnya pelaksanaan tugas dikarenakan di era Teknologi Informasi maka
pelaksanaan tugas menuntut adanya kemampuan di bidang pengolahan data
(komputer) disamping pengetahuan kewenangan kebendaharaan dan pengetahuan kewenangan
administratif yang standar;
2) Pembinaan terhadap KPA masih
dilakukan parsial dan seharusnya pembinaan dan bimbingan teknis dilakukan
secara komprehensf meliputi aspek otoriasasi, orodonansering, comptable,
akuntansi dan pengolahan data;
3) Kurangnya sosialisasi dalam bentuk
GKM kepada lingkup internal (jajaran DJPBN);
4) Belum adanya payung hukum bagi
Bendahara Umum Negara/Kuasa BUN untuk melakukan pengawasan kepada satker
pengguna atas pengelolaan keuangan negara khususnya ada temuan kejanggalan atau
indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh KPA;
5) Tidak adanya penghargaan (reward)
dan sanksi (punishmen) atas kinerja pegawai;
6) Sarana dan prasarana berupa piranti
komputer dan jaringan website untuk mendukung sistem pembayaran yang belum
memadai mengingat sarana yang ada sementara ini sudah tergolong kuno dan tidak
branded.
2.3 Usul Penyempurnaan Aturan
Pelaksanaan Kewenangan Kebendaharaan
Dari pengamatan pelaksanaan pengelolaan keuangan negara yang
dikemukakan di atas dapat disimpulkan masih terdapat kelemahan khususnya
efficiency operational yang dikhawatirkan justru akan menghambat pencapaian
tujuan dan sasaran program. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah
perbaikan sebagai berikut :
- Perlu adanya aturan sebagai
bentuk pembinaan sekaligus pengawasan atas pengelolaan keuangan negara
(post audit) oleh Bendahara Umum Negara/Kuasa BUN. Artinya apabila ada
kejanggalan atau ditemukan indikasi penyimpangan dalam perintah pembayaran
maka BUN/Kuasa BUN tetap menerbitkan SP2D, namun perlu dilakukan pembinaan
secara tertulis atas kesalahan/penyimpangan tersebut dengan tembusan
kepada aparat pengawas fungsional. Produk aturan yang diusulkan adalah
dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan;
- Diperlukan penyuluhan secara
kontinyu kepada KPA agar mind set selaku pemegang kewenangan administratif
dapat dipahami dan diresapi. Untuk itu fungsi pembinaan pada Bidang PPKN
dan Bidang AKLAP perlu dirumuskan ulang agar pola pembinaan yang dilakukan
benar-benar komprehensif dan tepat guna sesuai reformasi manajemen
keuangan
pemerintah;
- Perlu aturan tentang standar
mutu layanan Kanwil DJPBN dan KPPN agar proses pengalihan kewenangan
administratif kepada KPA dapat berjalan dengan baik;
- Dengan diberlakukan standar
mutu layanan maka perlu adanya bentuk kompensasi yakni berupa rangsangan
(insentif) sebagai reward dan sebaliknya akan diberikan sanksi apabila ada
pelanggaran dalam pelayanan kepada mitra kerja;
- KPPN tidak perlu lagi membuat
Kartu Pengawasan Belanja Pegawai Perorangan (lampiran 14-3 PER-66/PB/2005)
dikarenakan hal tersebut merupakan kewenangan administratif pada KPA;
- Perlunya Bank Data Pegawai
Negeri Sipil seluruh Indonesia agar file data jati diri PNS dapat secara
mudah diakses oleh seluruh unit pemakai mengingat di era IT semua data
diproses secara elektronik;
- Diterapkan standar kompetensi
dalam rangka meningkatkan kualitas kinerja Dit.Jen.Perbendaharaan termasuk
lingkup Kanwil DJPBN dan KPPN dikarenakan perubahan dalam sistem
penganggaran di era reformasi manajemen pemerintah menghendaki adanya profesionalisme dan
kompeten di bidang tugasnya;
- Perlu percepatan peningkatan
kompetensi pegawai di bidang otorisasi, ordonateur, akuntansi, analisa
pelaporan dan pengolahan data dengan indikator sasaran prosentase pegawai
yang mempunyai keahlian pada bidang tersebut dengan melaksanakan kegiatan
on the job training (pelatihan di tempat kerja) dan GKM dengan sisitim
mentoring;
- Perlu dirumuskan ulang prosedur
kerja Kanwil DJPBN dan KPPN dalam hal :
- • Pola pembinaan sistem
akuntansi pemerintah yang komprehensif dan pengolahan data yang integrasi
dengan membetuk think thank dan DUKTEK di Kanwil DJPBN
- Standardisasi kinerja KPPN :
a.
Diterapkan
pengamanan prosedur tetap pengamanan database
b.
Ditentukan
proses cut off
c.
Dibentuk
work shop untuk menanggulangi permasalahan aplikasi
d.
Standar
rekonsiliasi dalam rangka mutu pelayanan terhadap mitra kerja
e.
Prosedur
perbaikan data
Indikasi penyimpangan anggaran negara sebagaimana ditemukan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akhir-akhir ini menimbulkan kekhawatiran
pada sebagian kalangan politisi dan masyarakat bahwa reformasi manajemen keuangan pemerintah tampaknya masih dalam
batas verbalisme politis. Sistem manajemen keuangan pemerintah dan aparat pelaksananya masih belum
mampu menggunakan uang rakyat secara bertanggung jawab. Sungguh ironis di
tengah pengangguran dan kemiskinan yang semakin meluas serta hutang negara yang
semakin membengkak, oknum aparat pemerintah masih melakukan tindakan tidak
terpuji dengan menyalahgunakan uang rakyat.
Perilaku koruptif
masa Orde Baru masih melekat kuat pada sebagian aparat pemerintah. Hasil temuan
BPK tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar: Apa yang salah dengan sistem manajemen keuangan pemerintah kita? Apabila ternyata
sistem manajemen keuangan pemerintah kita terbukti memiliki kelemahan,
apakah ada sistem manajemen keuangan pemerintah alternatif yang mampu menekan
penyimpangan dan pemborosan keuangan dan sumber daya negara? Sistem manajemen keuangan pemerintah
Apa yang dikemukakan oleh Sondang P. Siagian (1995) dalam
menggambarkan keadaan manajemen keuangan pemerintah semasa Orde Baru tampaknya masih belum
berubah secara signifikan pada masa Orde Reformasi sekarang ini. Ia mengatakan
bahwa manajemen keuangan pemerintah sudah tidak sesuai dengan tuntutan
pembangunan. Sebagai contoh, sistem pelaporan keuangan, katanya
"....sering hanya menunjukkan legalitas penggunaan biaya dan kurang
menunjukkan efisiensi penggunaan biaya tersebut".
Sistem pelaporan keuangan yang memungkinkan terjadinya
distorsi informasi demikian tentunya sangat buruk bagi proses pembuatan
keputusan dan kebijakan pemerintah yang efektif di bidang manajemen aset dan kewajiban (liabilities). Dalam praktik manajemen keuangan pemerintah yang masih berlangsung sekarang ini,
ada kecenderungan dari oknum pejabat untuk menghabiskan sisa anggaran, baik
anggaran rutin maupun anggaran pembangunan (proyek), yang dikelolanya. Pejabat
tersebut termotivasi oleh insentif untuk menghabiskan sisa anggaran karena
kalau sisa anggaran tersebut tidak dihabiskan maka jumlah anggaran yang
disetujui Departemen Keuangan untuk tahun berikutnya, baik yang diusulkan dalam
Daftar Usulan Kegiatan (DUK) maupun Daftar Usulan Proyek (DUP), akan lebih
kecil dari jumlah anggaran tahun sebelumnya. Akibatnya, oknum pejabat tersebut
merekayasa kegiatan untuk menghabiskan sisa anggaran dan membuat laporan
keuangan "yang seolah-olah benar" untuk menjustifikasi kegiatan
tersebut.
Dalam sistem manajemen keuangan demikian tidak ada insentif bagi pengelola
anggaran untuk menghemat maupun mengelola anggaran tersebut secara efektif dan
efisien.
Lemahnya manajemen pemerintahan khususnya manajemen keuangan, pemerintah yang menstimulasi perbuatan koruptif
demikian telah menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga
pemerintah terutama pada lembaga pengawasan.
Apabila dilihat dari praktik pengelolaan keuangan negara,
tampak jelas pemerintah menggunakan "Cash Accounting System" (Sistem
Akutansi Tunai-SAT). Penggunaan sistem ini dipertegas lagi dalam Keputusan
Presiden No. 16 Tahun 1994 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 217/ KMK. 03/
1990.
SAT hanya mencatat pos-pos penerimaan dan pengeluaran tunai.
Dalam SK Menteri tersebut ditegaskan bahwa mulai 1 April 1990 berlaku sistem
baru untuk semua pembayaran atas beban kepanjangan (APBN) yang disebut Sistem
Pembayaran dengan Uang Yang Harus Dipertanggungjawabkan (UYHD). Dalam sistem
UYHD tampak jelas pencatatan hanya dilakukan pada pembayaran tunai kegiatan
jangka pendek, tidak memperhitungkan kewajiban jangka panjang.
Seperti yang sudah lazim dalam praktik pembukuan dan
akutansi pemerintah selama ini, SAT yang digunakan pemerintah tidak mencatat
aset dan kewajiban terutang baik dalam bentuk akun yang terutang (account
payable) maupun akun piutang (account receivable). Oleh karena itu, tidak jelas
dan sulit dilacak berapa nilai semua aset dan kewajiban yang dimiliki
pemerintah.
Akibatnya, sistem pelaporan keuangan yang dihasilkan
cenderung memberikan informasi yang tidak lengkap dan menyesatkan. Keadaan
demikian seringkali membuat keputusan dan kebijakan publik yang berkaitan
dengan aset dan kewajiban pemerintah, termasuk manajemen hutang salah dan tidak efektif (policy defect). Kelemahan
lain dari manajemen keuangan pemerintah selama ini adalah adanya nonbujeter,
yaitu dana di luar APBN yang berasal dari pendapatan bukan pajak. Adanya
pengalokasian dana yang bersifat nonbujeter yang penggunaannya tidak transparan
dan lemah mekanisme akuntabilitas publiknya jelas bertentangan dengan prinsip
pemerintahan yang baik (good governance).
Berbeda dengan SAT, Sistem "Accrual Accounting"
(SAA) bukan hanya mencatat nilai penerimaan dan pembayaran tunai tetapi juga
mencatat semua nilai aset dan kewajiban jangka panjang. Oleh karena itu, dengan
SAA semua aset dan kewajiban pemerintah akan terlihat dan terdeteksi. Melalui
pencatatan account payable dan account receivable, SAA secara sistematis
membukukan, dalam bentuk double entries, semua aset dan kewajiban
pemerintah.SAA mengutamakan pemenuhan prinsip transparansi, partisipasi, dan
akuntablitas publik dalam manajemen keuangan dan sumber daya negara.
Penerapan SAA adalah wujud pelaksaan good governance dalam
manajemen keuangan dan sumber daya (aset) negara. Namun demikian, efektivitas
implementasi SAA tersebut tidak bisa lepas dari apa yang kemudian dikenal dalam
manajemen sektor publik moderen New Public Management (NPM) sebagai korporasi manajemen pemerintahan (corporate government). Sebagaimana layaknya
dikenal dalam dunia bisnis swasta, dalam NPM pun diaplikasikan konsep ownership
(pemilikan), purchase (pembeli), shareholder (pemegang saham), dan custtomer
(pelanggan). NPM mengonstruksi organisasi pemerintah sebagai suatu korporasi.
Masyarakat, sebagai pembayar pajak (tax payer), adalah shareholder dari
organisasi tersebut.
Masyarakat berhak tahu atas segala urusan dan manajemen
organisasi pemerintah, termasuk manajemen aset dan kewajiban. Pengurus
organisasi tersebut wajib memberitahukan secara transparan kepada masyarakat
sebagai shareholder semua hal mengenai aset dan kewajiban organisasi, baik yang
bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Menteri, sebagai pimpinan
tertinggi dari organisasi tersebut, harus bertanggung jawab dan akuntabel
kepada masyarakat mengenai semua hal menyangkut kemajuan dan manajemen
organisasi.
Peran dan partisipasi masyarakat dalam korporasi manajemen
pemerintahan demikian adalah dengan mengawasi penggunaan dan pengelolaan aset
dan kewajiban organisasi. Apabila pengurus gagal mengelola aset dan kewajiban
organisasi maka masyarakat bisa mengusulkan untuk mengganti pengurus atau
menteri yang memimpin organisasi tersebut. Dalam NPM hubungan antara Menteri
dan Direktur Jenderal sebagai CEO (Chief Executive Officer) diwujudkan dalam
bentuk Performance Contract (kontrak kinerja) yang biasanya berlaku selama lima
tahun. Dalam kontrak demikian, menteri sebagai wakil dari owner (pemerintah),
dapat memecat CEO sebelum habis masa kontrak kerjanya apabila ia gagal dalam
mengelola aset dan sumber daya organisasi yang dipimpinnya. Oleh karena itu,
CEO akan termotivasi untuk mengelola aset organisasi tersebut secara lebih
afektif, efisien, dan bertanggung jawab.
Namun, SAA bukannya tanpa kekurangan. Kelemahannya adalah
relatif tingginya biaya admisitrasi dan transaksi (transaction cost). Dalam
sistem ini setiap organisasi pemerintah diwajibkan mempublikasikan laporan
keuangannya kepada publik. Artinya, dibutuhkan banyak tenaga pemeriksa keuangan
(auditor) profesional untuk menyiapkan dan mengaudit laporan keuangan tersebut.
Selain itu, efektivitas SAA dalam manajemen aset dan keuangan negara sangat
bergantung pada integritas moral dan keprofesionalan para operatornya.
Di sinilah profesi pemeriksa keuangan, baik ia sebagai
pemeriksa keuangan internal maupun eksternal (internal and external auditor)
maupun pengelola keuangan pemerintah, memegang peranan penting. Efektivitas SAA
dalam manajemen aset dan keuangan pemerintah telah dibuktikan oleh Pemerintah
Selandia Baru. Hasilnya, posisi anggaran belanja Pemerintah Selandia Baru
berubah, dari defisit sebesar $ 2.254 miliar tahun 1990-1991 menjadi surplus
$755 juta pada 1994 dan $ 3.314 juta pada 1996. SAA telah memberikan kontribusi
yang nyata dalam menekan pemborosan anggaran sekaligus meningkatkan efektivitas
penggunaan anggaran tersebut.
SAA merupakan sistem manajemen keuangan alternatif yang
dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk mereformasi manajemen
keuangannya. Sistem ini telah terbukti mampu mengelola kekayaan negara secara
efektif, efisien, dan bertanggung jawab. Namun, hal yang paling mendasar agar
sistem tersebut bekerja dengan efektif adalah adanya kemauan politik pemerintah
untuk secara sungguh-sungguh menerapkan sistem tersebut guna mewujudkan good governance
dalam manajemen keuangan pemerintah
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan
pemisahan kewenangan administratif dan kewenangan kebendaharaan masih
menimbulkan permasalahan-permasalahan sehingga pelaksanaan anggaran yang
efisien sebagaimana diharapkan dengan perubahan sistem belum terlihat secara
jelas.
Yang perlu dipikirkan bersama adalah arah reformasi bidang
perbendaharaan harus dikawal sesuai tujuan yang dicapai yaitu menciptakan good
governance dan hal itu dapat terwujud apabila dalam pelaksanaan APBN mengacu
pada tiga prinsip penting dalam Public Expendiure Management yakni : aggregate
fiscal dicipline, Allocative efficiency dan operational efficiency.
Untuk itu selaku bagian dari jajaran Direktorat Jenderal
Perbendaharaan maka Kanwil DJPBN hendaknya terus melakukan evaluasi kinerja dan
pengembangan kinerja agar dapat merespon perubahan dalam segala aspek
pengelolaan keuangan negara. Amin.
3.2 SARAN
Sistem manajemen keuangan pemerintah yang dipraktikkan
pemerintah selama ini kurang memenuhi prinsip good governance dalam pengelolaan
keuangan negara. Sistem manajemen keuangan demikian melemahkan partisipasi
masyarakat untuk mengawasi penggunaan anggaran, memancing praktik korupsi,
kolusi, nepotisme (KKN) karena kurang transparan, dan mendorong pejabat untuk
menggunakan keuangan dan sumber daya negara secara tidak bertanggung jawab
karena lemahnya mekanisme akuntablitas publik dalam pengelolaan keuangan
negara. Oleh karena itu, perlu dicari sistem manajemen keuangan pemerintah
alternatif yang memenuhi prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan dan
sumber daya negara. Sistem "Accrual Accounting" dapat dijadikan salah
satu alternatif kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA
James
K. Van Fleet, 1973, 22 Manajemen Keuangan,
Jakarta:Mitra Usaha
http://artikelrande.blogspot.com/2010/07/manajemen-keuangan.html
Purwanto, Yadi, 2001, Manajemen Keuangan Pemerintah PT. Cendekia Informatika, Jakarta
http://artikelrande.blogspot.com/2010/07/manajemen-keuangan.html
Purwanto, Yadi, 2001, Manajemen Keuangan Pemerintah PT. Cendekia Informatika, Jakarta
W.
Brown steven, 1998, manajemen
kepemipinan, Jakarta: Profesional Books
No comments:
Post a Comment